“Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, Sesungguhnya bumi-Ku luas, Maka sembahlah Aku saja. “(QS. Al Ankabut 56)

Keadaan Sebelum Hijrah

Selama lebih dari 12 tahun di Mekah, Rasulullah menyebarluaskan Islam, masih sangat sedikit orang-orang yang tertarik terhadap Islam. Sebaliknya lebih banyak orang-orang yang tetap dalam kemusyrikan. Mereka bahkan sangat kokoh menyernbah berhala, rnernpercayai ramalan-ramalan, berjudi, minurn khamar, dsb.

Kalau hanya sekedar menolak kehadiran Islam tanpa dibarengi sikap permusuhan, barangkali tidak akan terlalu rnemberatkan Nabi dalarn menjalankan dakwahnya. Tapi di samping mereka tetap dalam sikap kepala batunya, mereka mengadakan perlawanan sengit. Mereka mengejek, rnenghina, menyakiti badan Nabi dan para sahabatnya.

Tidak puas dengan cara demikian, mereka juga mengadakan pemboikotan total terhadap Nabi dan para sahabat, baik dalam bidang perdagangan, perekonornian maupun pergaulan kemasyarakatan.

Terbebas dan pengucilan, mereka masih tetap mernusuhi Nabi secara keji. Kali ini, mereka mengadakan persekongkolan untuk mernbunuh Nabi. Dan semua cara itu dilakukan, setelah sebelumnya mereka membujuk dan rnerayu Nabi beserta para sahabat dengan berbagai macam cara, dan yang halus terselubung sampai yang kasar dan sangat nyata terlibat.

Nabi dan para sahabat tetap istiqornah, teguh memegang prinsip-prinsip ketauhidan. Kafir Mekah makin garang. Mereka juga melarang dan mernpersulit orang-orang yang mau berternu dengan Nabi. Demikianlah, setelah melalui proses panjang, mulai muncul orang-orang Mekah yang sadar terhadap kekeliruan sesembahannya selama ini.

Medinah Mulai Terpikat

Berbeda dengan penduduk Mekah yang tidak simpatik kepada Nabi SAW, maka penduduk Madinah (dulu Yatsrib namanya), justru sebaliknya. Mereka, begitu bertemu dengan Nabi langsung menerimanya, dan masuk Islam baik sendiri-sendiri maupun berombongan.

Ketika itu, Nabi masih tinggal di Mekah, belum turun perintah hijrah ke Medinah. Orang-orang Medinah sedang berkumpul di Mekah untuk keperluan ibadah sesuai tradisi mereka. Sewaktu berada di Aqabah yang tidak jauh dari Mekah, Nabi sengaja datang menemui mereka menyampaikan dakwah Islam.

Orang-orang Medinah selama ini tinggal bersama-sama dengan orang-orang Yahudi mereka selalu mengatakan, bahwa suatu saat akan hadir seorang Nabi terakhir dari bangsanya.

Orang-orang Madinah begitu bertemu Muhammad SAW, tanpa pikir panjang langsung percaya; ia adalah Nabi yang sering dibicarakan orang-orang Yahudi. Orang-orang Madinah sendiri juga sama-sama merindukan datangnya seorang Nabi yang dapat mempersatukan sesama mereka. Maklumlah, selama ini, antara sesama kabilah dan suku di lingkungan penduduk asli Medinah sering terjadi pertempuran sengit. Akibat perang saudara yang berlarut-larut, membawa kerugian dan penderitaan yang berkepanjangan. Yang untung adalah pihak ketiga, yaitu kaum Yahudi pendatang. Karena itulah, tatkala penduduk Madinah berternu Nabi Muhammad SAW di Aqabah, bagai pucuk dicinta ulam tiba. Mereka gembira bukan main dan berkata: “Ya Rasuluhlah, kami tinggalkan di belakang kami, bangsa yang saling bermusuhan. Mudah-mudahan kelak, Allah akan mempersatukan kami semua dengan engkau. Dan kami akan mengajak bangsa kami untuk mengikuti agamamu, dan kalau sampai orang-orang mengikuti agama kami sekarang ini, pasti tidak ada seorang pun yang lebih kuat dan engkau”.

Perjanjian Aqabah

Tidak lama kemudian, datang lagi orang-orang Madinah, bertemu lagi dengan Nabi SAW, di Aqabah, di tempat pertemuan yang pertama. Mereka berbaiat kepada Nabi: benranji tidak akan menyekutukan Allah dan akan meninggalkan perbuatan yang dilarang menurut pandangan Nabi SAW.

Sewaktu mereka kembali lagi ke Madinah, Nabi menugaskan Mush‘ab bin Umair turut serta ke Madinah sebagai da’i pertama ke Madinah. Ia mengajari shalat, membaca Al-Quran, dan sebagainya kepada penduduk Madinah. Ternyata orang-orang yang diajari Mush’ab, ingin juga bertemu dengan Nabi. Maka pada tahun berikutnya sebanyak 75 orang Madinah datang menemui Nabi. Juga di Aqabah. Untuk kedua kalinya dihadapkan Nabi, mereka mengadakan pembaiatan.

Dalam baiat itu mereka menyatakan kesediaannya untuk membela Nabi SAW seperti mereka membela diri dan keluarganya. Nabi pun menerima baiat mereka dengan hati yang lapang dan berkata: “Aku adalah dari golonganmu dan kalian dari golonganku. Dan aku akan memerangi siapa saja yang kamu musuhi dan aku akan berdamai dengan siapa yang kamu ajak berdamai”.

Untuk mengikatkan kekompakan mereka, Rasulullah lalu mengangkat 12 orang di antara mereka menjadi pemimpin di Madinah.

Madinah Pilihan yang Tepat

Tatkala penduduk Madinah telah menjalin hubungan dengan Nabi SAW, mayoritas penduduk Mekah rnasih tetap memusuhi Islam. Nabi SAW lantas menganjurkan para pengikutnya untuk hijrah ke Madinah, suatu tempat yang sangat cocok bagi pengembangan Islam. Nabi SAW menyeru: ”Sesungguhnya Allah Azza Wajalla, telah menyediakan tempat untuk kalian jadikan saudara (pelindung) dan tempat hijrah yang aman.”

Maka berbondong-bondonglah kaum mushimin meninggalkan kampung halamannya menuju Madinah. Nabi pun lalu menyusul dari belakang. Madinah menyambut kehadiran Nabi sebagai pemimpin yang paling utama dan menyambut kehadinan kaum muslimin Mekah sebagai saudara seiman dan seperjuangan.

Anas bin Malik, sahabat dari golongan Anshar, memberi kesaksian sewaktu Medinah menyambut kedatangan Nabi. “Demi Allah, tidak pernah aku melihat kejadian yang semeriah itu.” Lantas teman sebayanya yang waktu itu masih sarna-sama kecih, Barrah bin Azib juga memberi kesaksian serupa: “Aku belum pernah menyaksikan penduduk Madinah begitu gembira lebih daripada kegembiraan mereka ketika Nabi SAW datang”.

Mengapa Mereka Gembira?

Abdul Hasan Ali Al Hasani An-Nadwi dalarn bukunya “As-Sirah an-Nabawiyah” menyebutkan ada 3 faktor utama yang menyebabkan penduduk Madinah (Anshar) menyambut kehadiran Islam.

Pertama, karena fitrah dan tabiat mereka yang lemah-lembut tapi pemberani lagi perwira, tidak culas. Allah mengabadikan kepribadian mereka yang baik di dalam Al-Quran surat Al-Hasyr 9:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

”Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”

Kedua, seringnya terjadi pertumpahan darah di antara mereka sendiri. Salah satu di antara pertumpahan darah yang paling membekas, sehingga menimbulkan trauma yang dalam, adalah terjadinya Perang Bu’ath yang banyak menelan korban harta, nyawa dan moral di kedua belah pihak yang saling bermusuhan, yaitu suku Aus dan Khasraj.

Ketiga, kerinduan mereka terhadap kehadiran seorang Nabi seperti yang sering diucapkan para pendatang, orang-orang Yahudi.

Selain ketiga faktor di atas, juga faktor geografis ikut menentukan. Madinah sangat strategis bagi tempat hijrah, terutama diihat dan segi kemiliteran dan pertahanan. Ternpatnya dikelilingi oleh ternbok-tembok bukit yang terjal, seolah-olah melindungi dari gempuran rnusuh yang sewaktu-waktu datang menyerbu.

Langkah Awal Untuk Maju

Meski demikian, sebagai manusia biasa, Nabi SAW merasakan berat sekali meninggalkan kampung halamannya. Tapi seperti disimpulkan An-Nadwi bahwa “Dakwah dan Aqidah memang sangat membutuhkan pengorbanan yang besar sekali. Keduanya memaksa seseorang untuk meninggalkan segala yang disenangi, baik harta, keluarga, kawan maupun tempat kelahiran”.

Mekah memang sangat memikat. Ia memiliki sejarah yang panjang. Ia memiliki kebesaran yang tidak dimiliki kota lainnya. Namun lantaran pada mulanya ia tidak simpatik kepada Islam, terpaksa ia harus ditinggalkan. Sebagai gantinya, kebesaran dan kemenangan yang lebih utama berhasil diperolehnya secara gilang-gernilang.

Nabi SAW tegak kokoh sebagai pemimpin umat manusia yang tak tertandingi, justru muncul setelah beliau diusir meninggalkan kampung halaman. Begitu juga para sahabatnya yang setia, terukir indah dalam catatan sejarah, sebagai orang-orang yang tidak mudah digoyahkan oleh berbagai bujukan dan ancaman.

Hijrah akhirnya memang merupakan langkah awal menuju kemajuan. Dan sekarang ini, orang pun masih tetap memerlukan pada Hijrah. Yaitu suatu tindakan berani untuk tidak ikut hanyut dalam pemikiran dan tindakan yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Mudah-mudahan kita mampu mengambil hikmahnya. (Oleh Badruzzaman Busyairi, dalam Bulletin Dakwah No.37 Tahun Ke-XIII, Muharram 1407H Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)