Jumat, 12 November 2010

Keutamaan Bulan Muharram

KEUTAMAAN BULAN MUHARAM Topic List <> | Next Topic >
Reply<> | Next Message >
KEUTAMAAN BULAN MUHARAM
Sumber : surau.org

Bulan Muharam, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Bulan ini termasuk salah
satu dari keempat bulan haram sebagaimana difirmankan Allah SWT yang artinya,
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram. Itulah (ketetapan) din yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya
diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 36).

Empat bulan sebagaimana tersebut dalam ayat di atas adalah Muharam, Rajab,
Zulkaidah, dan Zulhijah. Dalam empat bulan ini kaum muslimin diharamkan untuk
berperang melawan orang kafir.


Bila mata bertemu mata akan datang rasa kasih.
Bila hati bertemu hati akan datang rasa sayang.
Tapi bila dahi bertemu sajadah akan terasa kebesaran Allah SWT.
SELAMAT TAHUN BARU 1 MUHARRAM 1427 H

Keutamaan Muharam
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam,
sedang salat yang paling afdal sesudah salat fardu adalah salat malam."
(HR Muslim)

Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan, Muharam disebut dengan syahrullah (bulan
Allah) memiliki dua hikmah.
Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharam.
Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah dalam mengharamkan bulan Muharam.
Pengharaman bulan ini untuk perang adalah mutlak hak Allah saja, tidak seorang
pun selain-Nya berhak mengubah keharaman dan kemuliaan bulan Muharam.

Di samping itu, bulan Muharam juga memiliki banyak keutamaan. Salah satunya
adalah sebagaimana sabda Rasulullah saw. di atas, "Puasa yang paling utama
setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang salat yang paling
afdal sesudah salat fardu adalah salat malam." (HR Muslim).

Puasa pada bulan Muharam yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh,
yaitu yang lebih dikenal dengan istilah 'aasyuura. Aisyah--semoga Allah
meridainya--pernah ditanya tentang puasa 'aasyuura, ia menjawab, "Aku tidak
pernah melihat Rasulullah saw. puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul
mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada
hari kesepuluh Muharam." (HR Muslim).

Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari 'aasyuura.
Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa. Dari Ibnu Abbas r.a., ketika Rasulullah
saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah
saw. bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini
hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta
menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun
berpuasa." Rasulullah saw. bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih
utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian."

Abu Qatadah berkata, Rasulullah saw. Bersabda, "Puasa 'aasyuura menghapus dosa
satu tahun, sedang puasa arafah menghapus dosa dua tahun." (HR Muslim, Tirmizi,
Abu Daud).

Pada awalnya, puasa 'aasyuura hukumnya wajib. Namun, setelah turun perintah
puasa Ramadan, hukumnya menjadi sunah. Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah saw.
memerintahkan untuk puasa 'aasyuura sebelum turunnya perintah puasa Ramadan.
Ketika puasa Ramadan diperintahkan, siapa yang ingin boleh puasa 'aasyuura dan
yang tidak ingin boleh tidak berpuasa 'aasyuura." (HR Bukhari, Muslim,
Tirmidzi).

Ibnu Abbas r.a. menyebutkan, Rasulullah saw. melakukan puasa 'aasyuura dan
beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, "Ini
adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani. Maka Rasulullah saw.
bersabda, "Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan
Muharam." Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu
Daud). Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa
pada tanggal sembilan Muharam. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama
tiga hari: 9, 10, 11 Muharam. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
"Puasalah pada hari 'aasyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah
sehari sebelum 'asyuura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi
manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharam. Boleh jadi yang kita kira
tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmuu' Syarhul
Muhadzdzab VI/406) . Wallahu a'lam. sumber : alislam.or.id


Hikmah Tahun Baru Islam: Merancang Hidup Lebih Baik

Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk
merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. ''Saudaraku, aku adalah
penduduk Madinah yang kaya raya.'' Kalimat itu diucapkan seorang sahabat
Rasulullah, Sa'ad bin Rabi, kepada sahabat lainnya, Abdurrahman bin 'Auf. Sa'ad
tak bermaksud pamer dan sombong, tapi hendak meyakinkan Abdurrahman agar mau
menerima tawarannya.

''Silakan pilih separuh hartaku dan ambillah,'' tegas Saad. Tidak hanya itu,
Saad menambah penawarannya. ''Aku pun mempunyai dua orang istri, coba perhatikan
yang lebih menarik perhatian Anda, akan kuceraikan ia hingga Anda dapat
memperistrinya.'' Abdurrahman menolak halus tawaran tulus nan menggiurkan itu.
Malah ia minta ditunjukkan letak pasar. Ia menolak ikan, tapi mau kail agar bisa
memancing sendiri.

''Semoga Allah memberkati Anda, istri, dan harta Anda. Tunjukkanlah letak pasar
agar aku dapat berniaga.'' jawabnya. Rekaman peristiwa dan dialog antara Sa'ad
dan Abdurrahman itu, sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik, terjadi saat
Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Saad
adalah penduduk Madinah, sedangkan Abdurrahman termasuk kaum Muhajirin. Saad
bukan satu-satunya kaum Anshar yang menjadi penolong kaum Muhajirin.

Dengan semangat persaudaraan Islam, saat umat Islam Makkah hijrah ke Madinah
bersama Rasulullah, umat Islam Madinah dengan suka-cita menyambut kaum
pendatang, memberi bantuan, dan bersama-sama membangun negeri Islam Madinah.
Keindahan ukhuwah Islamiyah kaum Muslimin generasi awal itu, antara Anshar dan
Muhajirin, seakan tampak di pelupuk mata ketika kita memasuki Tahun Baru Islam
1425 Hijriyah, hari Minggu kemarin (22 Februari 2004 M).

Kita pun seyogianya menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa
hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah ini. Tahun
hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem
penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'.
Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan
personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari
gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang
mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang
diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap
keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M
yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi
suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.

Menurut dongeng atau mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang
datang dari India untuk menetap di Tanah Jawa. Penetapan nama Tahun Hijriyah
(al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia
berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan
Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan
keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem
penanggalaan Islam itu.

Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam,
karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat
tinggi harganya bagi agama dan umat Islam. Selain Umar, orang yang berjasa dalam
penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Dialah yang mencetuskan
pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah,
saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).

Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, cendekiawan
Islam asal Malaysia, menuliskan, ''Dipandang dari ilmu strategi, hijrah
merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan
mempertahankan kaum mukminin.'' Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah
Islamiyah yang membentuk tatanan masyarakat Islam, yang diawali dengan eratnya
jalinan solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar.

Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu
telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai
penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa
umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak
disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan
permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak
seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan
oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi
tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam
mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari
hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi
lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan,
''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang
beruntung.

Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih
jelek dari kemarin, adalah orang celaka.'' Oleh karena itu, sesuai dengan QS
59:18, ''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang
apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat).''
Pada awal tahun baru hijriyah ini, kita bisa merancang hidup agar lebih baik
dengan hijrah, yakni mengubah perilaku buruk menjadi baik, melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya.

''Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah,'' sabda
Rasulullah. Kita ubah ketidakpedulian terhadap kaum lemah menjadi sangat peduli
dengan semangat zakat, infak, dan sedekah. Selain itu juga mengubah permusuhan
dan konflik menjadi persaudaraan dan kerjasama, mengubah pola hidup
malas-malasan menjadi giat bekerja, mengubah hidup pengangguran dan
peminta-minta menjadi pekerja mandiri, dan tidak bergantung pada belas kasih
orang lain.

Lihat saja teladan Abdurrahman bin Auf dengan semangat wirausahanya. Ia memilih
berdagang untuk mencari nafkah hidupnya ketimbang menerima belas kasihan orang
lain. Tidak kalah pentingnya, tahun ini kita harus hijrah pilihan politik, dari
parpol dan politisi busuk kepada parpol dan politisi harum, dari rezim korup dan
zalim kepada pembentukan pemerintahan Islami yang bersih.

Dengan kekuatan iman dan keeratan ukhuwah Islamiyah seperti kaum Muhajirin dan
Anshar, umat Islam bisa kuat dan bahu-membahu memenangkan partai Allah
(hizbullah) yang menegakkan syiar Islam berasaskan tauhid dan ukhuwah, bukan
memenangkan partai setan (hizbusy syaithon) yang mengibarkan bendera kebatilan.
Wallahu a'lam. Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1427 Hijriyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar